Oleh Arif Burhan
Kebijakan pertanian kita berdiri merentang di dua tegangan yang sama-sama
kuat yakni antara pro-industri dan pro-petani. Anehnya, keduanya dipilih dan
dijalankan sebagai sasaran meskipun secara kodrati sangat bertentangan. Di satu
sisi pemerintah meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan asupan produksi
berdalih 'swasembada pangan', sementara di sisi lain juga mengkampanyekan
pertanian organik yang ramah lingkungan.
Kalau kita mafhum, menyatukan kedua program tersebut pada satu waktu
merupakan dua hal yang tidak bisa beriringan, bahkan potensial menjadikan kedua
program luluh-lantak. Untuk mencegah kesalahan yang serupa pada waktu-waktu
mendatang, diperlukan penataan alur berfikir dari dasar lagi.
![]() |
Sumber gambar : https://davidderrick.files.wordpress.com/2009/07/african-farm.jpg |
Akar pemikiran ini penting sebab dari situ letak pokok permasalahan dapat
ditemukan untuk kita analisis lebih lanjut. Dari pisau analisis yang jelas
inilah ke depan program yang tepat dapat dihasilkan tanpa kerancuan. Dari
pembedahan ini, program yang nantinya lahir adalah murni hasil suatu pengkajian
yang mendalam karena mengalami proses yang runut dan obyektif. Tidak bias,
karena alasan sepintas terdengar baik saja.
Industrialisasi dan Agribisnis sebagai Jalan masuk Kapitalisme
Memang untuk membincang kebijakan pertanian yang telah dijalankan hari ini,
kita seperti tengah bernafas di ruang hampa. Sesak, karena kita tengah
terengah-engah berlari mengejar produktivitas, sementara alih fungsi lahan
pertanian untuk industri terus berlangsung.
Dalam agribisnis atau industrialisasi pangan perlu kita ketahui jika
kebijakan ini menjadi turunan langsung dari masuknya kapitalisme dalam dunia
pertanian. Sepintas memang natural, karena hukum sejarah menghendaki beralihnya
masyarakat tani ke industri. Namun demikian, sebetulnya transformasi ini
menjadi masalah serius karena kelak posisi tanah-tanah pertanian berikut
pekerjaan petani yang menyerap jutaan lapangan kerja dan penghasilan keluarga
tani terancam.
Untuk diketahui, jika di dalam industrialisasi pertanian terutama agribisnis, beras tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan pokok. Dalam agribisnis pangan, beras beralih menjadi komoditas ekonomis yang dianggap bernilai selama barang itu dapat menghasilkan nilai lebih dan menguntungkan. Kapitalisme beras telah menganut sistem berpola uang-beras-uang, menggeser pola subsisten yang melahirkan etika moral "dahulukan selamat".
Menarik ke atas, situasi ini terjadi karena petani hanya ditempatkan
sebagai obyek penderita yang paradigmanya ditentukan oleh negara yang
bekerjasama dengan industri pertanian baik yang nasional maupun
transnasional. Sementara petani non-organik secara tak sadar dipaksa
mengadopsi pola pertanian non-organik yang padat modal dan bergantung pada
asupan kimia sintetis tersebut. Akibatnya, di beberapa lahan, sawah tidak
mencerminkan daur ekosistem bercorak mutualis dimana satu agen hayati saling
berkompetisi membuat daur biologis yang sinambung dan memutus daur rantai
makanan.
Pertanian Ramah Lingkungan / Organik
Melihat praktik revolusi hijau yang meminggirkan posisi petani, segelintir
petani memberanikan diri berdiri di luar mainstream kembali berorganik.
Dengan kembali berorganik ini petani berkomitmen untuk menggunakan pola
pertanian konvensional dimana mereka memiliki kedaulatan untuk melakukan
menejemen pengelolaan produksi pertanian secara mandiri. Tanah diolah secara ramah dengan mempergunakan sumberdaya
lokal yang tersedia di lingkungan sekitar petani tanpa harus membeli dari luar
atau pabrik.
Pun begitu, dengan melihat kasus di lapangan dimana transisi dari produksi
berbasis tanah ke industri, petani mengalami keadaan setengah mati dalam
mempertahankan pekerjaan pengolahan sawah secara organik. Apalagi untuk
berorganik, secara eksternal dari luar lahan, cemaran polusi sampah dan air akibat
industrialisasi kian hari kian mengkhawatirkan. Produk-produk industri masuk
merusak air, mengalir ke lahan.
Win-win Solution
Dalam situasi limbung seperti ini, kita bersama perlu mencari solusi jalan
tengah (win-win solution) dengan maksud agar tidak terjadi kelimbungan
kebijakan di lapangan. Pertentangan program dapat diatasi tanpa melahirkan
konflik apabila negara betul-betul konsisten menempatkan diri sebagai mediator
yang berlaku adil dan tidak berat sebelah. Pemotongan perlakuan kebijakan yang
monopolis seperti pernah dilakukan Orde Baru dengan pemaksaan revolusi hijau
yang berpola top-down harus dipangkas, dengan mengembalikan petani
sebagai pelaku yang rasional dan berdaulat atas lahan yang mereka kelola.
Sebagai mediator, sudah saatnya pemerintah memutar haluan dengan menyerahkan kebijakan pertanian yang mengarah pada terciptanya kemandirian petani dari ketergantungan produk industri agrikultur yang membuat mereka tak berdaya. Lebih jauh, pemerintah perlu melakukan dorongan kebijakan agar kesalahan di masa lalu yang mencerabut petani kita dari kebiasaan bertani secara organik dibangkitkan lagi. Caranya adalah dengan mengganti pola pendekatan top-down yang 'sok tau' dengan metode verstehande (pemahaman) dimana petani didudukkan sebagai aktor yang bertindak rasional dan masuk akal.
Dari model seperti itu, akhirnya komunitas petani dengan dinamika dan keunikannya akan semakin terpahami dan ditangkap sebagai dunia yang tidak bisa diintervensi dari luar secara paksa. Akhirnya, kita perlu mengembalikan ini pada kemauan pemerintah dengan potensi kelembagaan yang kuat dari atas ke bawah. Negara tinggal memilih apakah akan terus melanjutkan kebijakan intervensionis dengan memperluas laju agribisnis yang pro-pemodal dan menguntungkan pihak di luar petani atau negara akan berdiri memihak petani yang menjaga nilai kearifan lokal.
21.41 WIB
Ketapang, malam hari
0 komentar :
Post a Comment